KEBUDAYAAN DAYAK (KALIMANTAN TENGAH)


KEBUDAYAAN DAYAK (KALIMANTAN TENGAH)


A.   Sejarah 

 

1. Pembentukan Propinsi Daerah Kalimantan Tengah

Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah dan perubahan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur junto Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-undang Nomor: 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 35) sebagai Undang-undang. Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah adalah Pahandut, kemudian dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958 Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah diubah menjadi Palangkaraya.
Selanjutnya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Desember 1959 Nomor Des.52/12/2-206 kedudukan Pemerintah Daerah Propinsi Tingkat I Kalimantan Selatan, yang semula berkedudukan di Banjarmasin, pindah ke Palangkaraya.

2. Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II

Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 9) Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari 3 kabupaten yaitu Kabupaten Barito, Kapuas dan Kota Waringin.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas, Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pembentukan Kotapraja Palangkaraya. Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah terdiri dari 1 (satu) Kota dan 5 (lima) Kabupaten.

3. Pemekaran Kabupaten/Kota

Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Provinsi Kalimantan Tengah dimekarkan menjadi 1 Kota dan 13 Kabupaten yaitu :

4. Kabupaten Barito Utara dengan Ibukota Muara Teweh;

Ø  Kabupaten Murung Raya dengan Ibukota Puruk Cahu;

Ø  Kabupaten Barito Selatan dengan lbukota Buntok;

Ø  Kabupaten Barito Timur dengan lbukota Tamiang Layang;

Ø  Kabupaten Kotawaringin Barat dengan Ibukota Pangkalan Bun;

Ø  Kabupaten Sukamara dengan lbukota Sukamara;

Ø  Kabupaten Lamandau dengan Ibukota Nanga Bulik;

Ø  Kabupaten Kotawaringin Timur dengan Ibukota Sampit;

Ø  Kabupaten Seruyan dengan lbukota Kuala Pembuang;

Ø  Kabupaten Katingan dengan Ibukota Kasongan;

Ø  Kabupaten Kapuas dengan Ibukota Kuala Kapuas;

Ø  Kabupaten Gunung Mas dengan Ibukota Kuala Kurun;

Ø  Kabupaten Pulang Pisau dengan Ibukota Pulang Pisau;


5. Arti Logo

Lambang Daerah Propinsi Kalimantan Tengah berbentuk segilima, warna dasar

Ø  Merah dan di tengah lambang berwarna hijau, dengan moto ISEN MULANG (Pantang Mundur).  
Ø  Segi lima, adalah lambang falsafah hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila. 
Ø  Merah, adalah lambang keberanian, keperkasaan dalam menghadapi berbagai tantangan yang memecah belah persatuan dan kesatuan. 
Ø  Hijau, adalah lambang kesuburan bumi Tanbun Bungai dengan berbagai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 
Ø  Talawang (Perisai), adalah lambang alat penangkis serangan musuh yang melambangkan kewaspadaan dan ketahanan masyarakat terhadap anasir - anasir yang merusak baik dari luar maupun dari dalam. 
Ø  Belanga (Guci), adalah lambang barang pusaka yang bernilai tinggi, yang melambangkan potensi kekayaan alam Kalimantan Tengah. 
Ø  Tali Tengang (Tali yang terbuat dari kulit kayu), adalah lambang kekokohan dan kekompakan yang tidak mudah di cerai beraikan. 
Ø  Kapas dan Parei (Kapas dan Padi), adalah lambang bahan sandang pangan yang melambangkan kemakmuran bangsa Indonesia pada umumnya dan rakyat Kalimantan Tengah pada khususnya. 
Ø  Bintang Lapak Lime ( Bintang Segi Lima), adalah lambang Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. 
Ø  Kambang Kapas (Bunga Kapas) 17 buah, Dawen (daun) 8 lembar dan Bua Parei (Buah Padi) 45 butir adalah lambang Hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. 
Ø  Burung Tingang (Burung Enggang), adalah lambang pertanda kemakmuran dan kedinamisan serta tekat rakyat Kalimantan Tengah untuk ikut serta secara aktif pemeliharaan dan pelestarian lingkungan. 
Ø  Mandau dan sipet (Parang dan Sumpit) adalah pasangan senjata yang di buat oleh nenek moyang Suku Dayak Kalimantan Tengah yang digunakan untuk bekerja, berburu dan menghadapi serangan musuh. 
Ø  Garantung (gong) adalah lambang bahwa masyarakat Kalimantan Tengah menjunjung tinggi kesenian, kebudayaan, berpandangan optimis dalam menghadapi berbagai tugas dalam suasana gotong royong sebagai lambang persatuan dan kesatuan.

B.   Nilai Budaya

Masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah sangat menjunjung tinggi kerukunan, saling menghormati, tolong menolong terhadap sesama manusia baik antara Suku Dayak sendiri maupun Suku Bangsa lain yang datang atau berada di Bumi Tanbun Bungai, mereka tidak mempersoalkan terhadap suku-suku bangsa lain, hal ini terlihat dari budaya masyarakat Dayak yang sangat dikenal yaitu Budaya Rumah Betang.
Rumah Betang adalah sebuah rumah panjang yang didalamnya dihuni beberapa orang/keluarga yang hidup rukun damai antara satu dengan yang lainnya. 

C.   Upacara Adat

Masyarakat Dayak sangat menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh adalah Ucapara Adat Perkawinan, Adat Menerima Tamu, Adat menghormati orang yang rneninggal dunia khususnya bagi masyarakat Dayak yang masih memeluk Agama Hindu Kaharingan.  

D.   Falsafah Hidup Masyarakat

Falsafah masyarakat Kalimantan Tengah adalah Huma Betang yang mengandung arti berbeda-beda, akan tetapi tetap satu dan dilengkapi dengan falsafah "belum bahadatyang artinya bahwa manusia itu hidup berada pada suatu tempat menjunjung tinggi etika dan estetika antara adat istiadat masyarakat setempat.  Belum Penyang Hinje Simpei, artinya kehidupan dalam suatu daerah harus diwujudkan dalam hidup yang rukun dalam suatu kebersamaan.

E.   Perubahan pada Sisi Religi

Sebagaimana yang terjadi pada wilayah lain di Indonesia. Perubahan dalam masyakat hutan dimulai dari perubahan pada sudut pandang dan mistifikasi antara sistem keyakinan yang dimiliki oleh suku.
Hal tersebut dapat ditelusuri melalui ekspresi budaya, seperti cerita rakyat, yang bergeser pada penceritaan lainnya, yang lebih impor.
Misalnya, cerita rakyat di Timur Tengah, antara nabi-nabi yang disebut Samawi, entah yang beragama Islam atau Kristen, yang membentuk peristiwa dan menggeser mitos kosmos (alam semesta).
Dan peran manusia, serta mitos lain yang menggambarkan hubungan intrinsik antara manusia dan lingkungan alam yang telah diyakini masyarakat adat sebelumnya (Umberan, 1994). Dan sungguh, ini merecoki pandangan hubungan antara masyarakat Dayak dengan Alam tempat mereka hidup.
Menarik, dari pembahasan Ukur (1994) bahwa untuk memahami makna religius tentang alam sekitar budaya Dayak, sumber yang paling dapat membantu adalah mitos-mitos tentang alam semesta. Atau kosmos dan peristiwa manusia yang menggambarkan lampiran dan hubungan intrinsik antara manusia dengan alam sekitarnya.

Mitos itu sendiri dalam pandangan penulis adalah sesuci agama-agama besar yang diturunkan, di belahan lain dunia. Bilamana orang Dayak tidak berkewajiban menyebarkan pandangan dan keyakinan itu.
Maka itu merupakan wujud humble mereka pada dunia dan semesta. Untuk tidak sok tahu pada kebutuhan bangsa lain yang menghuni di bagian lain dunia. Mitos tidak hanya cerita berkesan bohong, tetapi melalui mitos dikenali akan kejeniusan lokal yang hidup di dalam masyarakat Dayak sendiri. Yaitu, untuk mengungkapkan rahasia yang mendasar dan kebohongan di balik sikap manusia yang abai dan bersifat picik dalam perilaku.
Dan suku Dayak pun tidak menyukai sifat-sifat pengkhianatan pada nilai dan norma kemanusiaan universal, seperti Golden Rule itu. Mitos sebagai sejarah hidup Dayak, meskipun yang diceritakan dalam mitos tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sejarah dalam konteks pemahaman suku Dayak sendiri sulit diverifikasi secara historis (Ukur, 1994) dan tetap dianggap sebagai mitos sejarah karena diinternalisasi oleh manusia Dayak secara lisan.
Namun, keberadaan mitos itu diyakini kebenarannya, dianggap suci. Berisi hal-hal yang indah. Umumnya, menjelaskan titah para dewa, dimitoskan untuk mengatur kehidupan masyarakat Dayak yang tampil pada berbagai kondisi seperti tradisi, ritual, dan arah kultus ditujukan. Namun, zaman tengah berubah.

 F. Kebudayaan Suku Dayak

Keragaman budaya di Indonesia sudah terkenal sampai ke penjuru dunia. Itulah sebabnya mengapa banyak wisatawan mancanegara yang datang dan berlibur ke berbagai tempat wisata di Indonesia. Selain menikmati keindahan alam, mereka juga ingin mengetahui keunikan budaya di Indonesia. Berikut ini ulasan singkat tentang Kebudayaan Suku Dayak;
Prof. Dr. Arkanudin, Guru Besar Antropologi Budaya Fisip Universitas Tanjungpura Pontianak dalam bukunya berjudul “Kebudayaan Dayak Dulu dan Sekarang” mengangkat tentang suku Dayak sebagai inti dari kebudayaan Kalimantan Tengah, dan berdiri sendiri dalam kebudayaan yang kaya. Kebudayaan suku Dayak menjadi identitas yang membentuk manusia Dayak.
Segala istilah digunakan untuk menafsirkan kebudayaan Dayak. Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia di Kalimantan Tengah dalam konteks berkehidupan dan bermasyarakat.
Orang Dayak memiliki cara tersendiri untuk membentuk masyarakatnya dengan pendidikan internal. Ini berarti bahwa budaya dan adat istiadat tengah membentuk dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat Dayak. Bukan sekedar kepemilikan genetik melalui perwarisan biologis yang ada dalam tubuh manusia Dayak sendiri. Tetapi diperoleh melalui proses pembelajaran dari generasi ke generasi.
G. Idealisme Dayak di Kalimantan Tengah
Proses adalah bentuk penting dari budaya yang dimitoskan untuk diikuti dan ditaati. Dan itulah yang dinamakan dengan adat, yang berfungsi sebagai perilaku yang baik untuk mengelola, mengendalikan, dan memberikan arahan bagi orang Dayak dalam berperilaku sehari hari.
Misalkan, ini terlihat dalam berbagai upacara adat yang dilakukan sesuai dengan siklus kehidupan. Contohnya, perkawinan, kelahiran, dan kematian. Hal tersebut seiring dengan pengaturannya dalam upacara adat terkait.
Kedua, suatu bentuk budaya sebagai pola perilaku suatu masyarakat, yang dalam bahasa Bordieu, yaitu habitus, atau dalam bahasa sosiologi klasik yang biasa dikenal sebagai sistem social. Ini tentu saja muncul dalam kehidupan sosial masyarakat dari sejak kecil sampai tua. Di mana mereka dihadapkan dengan aturan mengenai hal-hal yang harus dilakukan. Apa saja yang dilarang, sifat tertulis diwariskan dari generasi ke generasi, dan pengalaman hidup mewujudkannya sebagai pedoman dalam bermasyarakat untuk berperilaku bagi orang-orang Dayak.
Ketiga, bentuk budaya artifak, artifisial, terbentuk sebagai keterwakilan duniawi manusianya. Misalkan objek ciptaan manusia yang umumnya dikenal sebagai budaya fisik, hasil kerja keseluruhan masyarakatnya.
Mengacu pada suku dayak ini seperti rumah Tabalu, rumah di sepanjang sungai, dan interaksi antarmereka dengan menggunakan simbol fisik pemberian dan sejenisnya.
Ini menjelaskan bahwa kebudayaan Dayak sebenarnya berada dalam perkembangan tertentu. Dan berkembang seiring dengan adaptasi masyarakat Dayak hingga hari ini.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga mau tidak mau mengalami pergeseran. Terutama dalam sudut pandang mereka tentang HUTAN dan SUNGAI.
Memberikan arti bahwa kebudayaan Dayak tidak statis dan selalu dinamis merupakan hal yang membuat penulis bersedih. Walau sampai saat ini masih ada orang-orang yang masih bertahan. Mereka tidak terhalang oleh perubahan generasi, salut penulis untuk mereka. Bahkan, mereka tetap mempelihatkan kebanggan untuk menunjukkan identitasnya sebagai orang Dayak.
H. Implementasi Budaya dalam Bentuk Tarian
Dalam pandangan nama, tarian ini menggunakan salah satu senjata yang merupakan pedang dan talawang (perisai) khas Dayak. Tari Mandau juga dibagi menjadi berbagai jenis gerakan sesuai dengan wilayah suku Dayak yang ada.
Menurut suku Dayak itu sendiri, Mandau adalah simbol dari semangat masyarakat Dayak dalam membela harkat dan martabat. Hal ini juga melambangkan suku Dayak dalam menjelaskan kejantanan para pria dalam menghadapi segala macam tantangan dalam aspek kehidupan lainnya. Selain itu, tarian ini juga menjelaskan bagaimana suku Dayak mempertahankan tanah air dan wilayah mereka. Dalam setiap acara Mandau didampingi irama suara Gandang dan Garantung yang terdengar lantang.
Harmonisasi irama musik tradisional menimbulkan suasana penuh semangat. Dan mengundang mereka yang mendengar dan melihat tari Mandau untuk mendapatkan lebih banyak gairah. Tujuannya, agar siap terjun ke medan perang.
Ada juga Tari Kancet yang menceritakan sisi kepahlawanan Dayak Kenyah terhadap lawan-lawan mereka. Gerakan tari ini sangat hidup, lincah, energik, dan kadang-kadang diikuti dengan jeritan para penari. Ada banyak tarian lainnya dari suku Dayak yang tak kalah menarik untuk Anda pelajari. Di antaranya adalah Serumpai, Gantar, Kancet Lasan, Kancet Ledo atau Tari Gong, Belian Bawo, Ngerangkau, Kuyang, Baraga’Bagantar, Datun, dan Pecuk Kina.
I.         Kesimpulan
Beragam-ragam budaya di Indonesia. Pada Kalimantan terdiri dari beberapa bagian seperti, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan terdiri juga dari beberapa suku.
Dalam suku Dayak memiliki cirri khas tarian yaiu Tari Mandau yang memiliki senjata pedang dan talawang (perisai) dan diiringi suara music yang harmonis sehingga membuat suasana menjadi lebih semangat.

Sumber :





           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Saya Dalam Berorganisasi

Organisasi Di Lingkungan Rumah Saya

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMIMPINAN